Jumat, 12 Maret 2010

TUGAS AUDIT 2_Audit GCG

TIARA AMALIA

21207095

3EB05

TUGAS PEMERIKSAAN AKUNTANSI 2

JURNAL AUDIT MANUFAKTUR

DOSEN : RENNY NUR’AINY

Artikel:
GOOD CORPORATE GOVERNANCE:
Berhasilkah Diterapkan di Indonesia?

Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi bagian PENELITIAN / RESEARCH.
Nama & E-mail (Penulis): H.Sri Sulistyanto/Haris Wibisono
Saya Dosen di Semarang
Tanggal: 23 Oktober 2003
Judul Artikel: GOOD CORPORATE GOVERNANCE: Berhasilkah Diterapkan di Indonesia?
Topik: Behavior Accounting

GOOD CORPORATE GOVERNANCE: Berhasilkah Diterapkan Di Indonesia?
(Dimuat di Jurnal Widya Warta, No.2 Tahun XXVI/Juli 2003, ISSN: 0854-1981)
H. Sri Sulistyanto (sulis@unika.ac.id)
Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Semarang
Haris Wibisono (hariswibi@yahoo.com)
Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mandala Madiun

ABSTRACT
This research try to explore wether the good corporate governance concept (GCG) can be implemented by the companies listed in Jakarta Stock Exchange (JSX), especially the companies which listed in the Good Corporate Governance Index. Good corporate governance is a concept emphasizing the importance of (1) the user right of financial statement to get the information acuratly and timely (2) the company management liability to provide the information acuratly and perform the company fundamental value. Thus, the earnings management which mislead the user of financial statement is contrary with the GCG concept. The test can provide evidence that the implementation of GCG in Indonesia can not give the result significantly. It is indicated that there is no difference of the discretionary accruals mean value before and after the implementation of GCG significantly.

Keywords: good corporate governance, earnings management, discretionary accruals.

Pendahuluan
Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep good corporate governance (GCG) sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat (Sulistyanto & Lidyah, 2002). Konsep ini diharapkan dapat melindungi pemegang saham (stockholders) dan kreditur agar dapat memperoleh kembali investasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan penyebab krisis ekonomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, adalah (1) mekanisme pengawasan dewan komisaris (board of director) dan komite audit (audit committee) suatu perusahaan tidak berfungsi dengan efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham dan (2) pengelolaan perusahaan yang belum profesional. Sehingga penerapan konsep GCG di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders.

Good corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparans terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder (YPPMI & SC, 2002). Atau secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly et al., 1996). Chtourou et al. (2001) juga mencatat prinsip GCG yang diterapkan dengan konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada profesional (agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha (YPPMI & SC, 2002). Namun pemisahaan ini mempunyai sisi negatif, keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan. Kondisi ini terjadi karena asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor tindakan manajemen (Richardson, 1998; DuCharme et al., 2000). Rekayasa ini merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy & Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000). Sehingga secara prinsipil manipulasi ini tidak sejalan dengan semangat GCG.

Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan. Selain itu, kewajiban penerapan prinsip GCG seharusnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan. Maka atas dasar uraian tersebut dan sejalan dengan penelitian Chtourou et al. (2001), penelitian ini ingin menguji apakah penerapan prinsip GCG mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan yang diukur dari keberhasilan ditekannya upaya rekayasa yang dilakukan manajemen.

B. Perumusan Masalah
Secara empiris terbukti bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan menjadi constrain bagi aktivitas rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. Secara teoritis rekayasa yang dikenal dengan istilah earnings management ini bertujuan untuk menyesatkan pemakai laporan keuangan yang ingin mengetahui kinerja perusahaan dan untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi. Rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya keterbukaan, akuntabilitas, dan transparansi informasi yang akurat dan menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sehingga penerapan prinsip GCG di Indonesia sebenarnya diharapkan juga mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang tercermin dari menurunkan tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen. Maka berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitiaan ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada perbedaan antara rekayasa keuangan sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance?

C. Tujuan Penelitian
Rekayasa kinerja sebenarnya merupakan fenomena yang logis karena kesuperioran manajemen dalam menguasi informasi seputar perusahaan dibandingkan pihak lain. Namun dalam kerangka economy recovery, rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG) yang menekankan pentingnya akurasi dalam melaporkan informasi mengenai perusahaan. Keakuratan ini penting agar informasi yang disampaikan dapat menggambarkan nilai fundamental perusahaan yang sesungguhnya, sehingga pemakai laporan keuangan dapat membuat keputusan yang lebih tepat. Sehingga dari uraian tersebut penelitian ini bermaksud menguji dan mencari bukti empiris apakah penerapan prinsip GCG di Indonesia telah memberikan hasil yang menggembirakan yang ditinjau dari turunnya tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen ketika melaporkan kinerjanya. Atau dengan kata lain, ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip GCG.

D. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pemakai laporan keuangan memberi kesempatan dan mendorong manajemen bersikap oportunis dengan memperbaiki profil laba akuntansi (Richardson, 1998; Chambers, 1999). Sikap oportunis ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG), karena rekayasa keuangan mengakibatkan informasi yang disampaikan menjadi tidak akurat dan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap oportunis ini dinilai sebagai sikap curang (fraud) manajemen yang diimplikasikan dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (Beneish, 2001). Sikap curang tersebut didefinisikan sebagai satu atau lebih tindakan yang disengaja yang didesain untuk menipu orang lain yang menyebabkan kehilangan kekayaannya (financial). Keberhasilan dari sikap ini dinilai ketika manajemen berhasil menyesatkan pemakai laporan keuangan dalam menilai perusahaannya.

Walaupun "logis" dilakukan manajemen karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi, rekayasa ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya hak pemakai laporan keuangan untuk memperoleh informasi yang akurat dan kewajiban perusahaan untuk memberikan informasi yang akurat (YPPMI & SC, 2002). Chtorou et al. (2001)-dalam penelitiannya yang menguji apakah praktik corporate governance mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas informasi keuangan yang dipublikasikan-menyimpulkan bahwa penerapan prinsip GCG akan menjadi kendala (constrain) aktivitas earnings management. Penelitian tersebut menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa yang dilakukan manajemen. Beasly et al. (1996) dan Abbott et al. (2000) yang menduga ada hubungan antara penerapan corporate governance dengan berkurangnya kecurangan pada pelaporan keuangan (financial reporting) membuktikan meningkatnya kualitas laporan keuangan karena penerapan prinsip tersebut secara konsisten.

Banyak penelitian yang menguji hubungan antara karakteristik komite audit (committee audit) dan dewan komisaris (board of directors)-syarat penting daalam GCG-dengan upaya earnings management sebagai ukuran keberhasilan penerapan prinsip GCG (Chtourou et al., 2001). Carcello & Neal (2000) dengan menguji proporsi independensi komite audit (committe audit) menyimpulkan adanya hubungan positif antara komite tersebut dengan berkurangnya tekanan manajemen terhadap komite audit pada saat menyusun laporan keuangan. Independensi komite audit merupakan salah satu ukuran penerapan prinsip GCG selain kompetensi dan aktivitas komite audit. Sehingga dapat dikatakan bahwa independensi komite audit mempunyai hubungan positif dengan level rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen (Westphal & Zajac, 1997). Sejalan dengan kesimpulan tersebut, Dezoort & Salterio (2001) juga menyimpulkan bahwa komite audit akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap rekayasa yang dilakukan manajemen.

Sementara dengan menguji kompetensi anggota komite audit, McMullen & Randghun (1996) menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi tersebut dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya earnings management. Atau dengan kata lain, semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan praktik rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen.

Selain komite audit, dewan komisaris (board of directors) juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable. Sehingga secara teoritis keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Sejalan dengan hal tersebut Beasly (1996) dan Abbots et al. (2000) menguji apakah besarnya dewan komisaris (board size) mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Penelitian tersebut tidak menemukan hubungan antara kedua hal tersebut, karena semakin besar dewan direktur semakin tidak efisien dan semakin lemah kontrolnya terhadap manajemen. Lebih lanjut dewan komisaris yang independensi secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Beasly (1996) juga menemukan hubungan negatif antara besarnya non-executif members dengan tingkat kecurangan tersebut. Sehingga secara singkat dapat dikatakan ada hubungan negatif antara proporsi independensi dewan komisaris dengan level manipulasi yang dilakukan manajemen. Demikian juga kompetensi dewan komisaris yang mempunyai hubungan negatif dengan level manipulasi tersebut. Atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris, semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Maka berdasar uraian di atas, hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

H: Ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance.

E. Metode Penelitian
1. Sampel dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan (annual report) tahun 1995-2000 perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multiple purposive sampling, dengan kriteria: § Perusahaan yang masuk dalam daftar Corporate Governance Perception Index (CGPI), yaitu daftar yang dibuat oleh The Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG). Pemilihan sampel penelitian dari daftar ini karena perusahaan-perusahaan ini mempunyai pemahaman yang baik dan telah melaksanakan prinsip-prinsip GCG. § Perusahaan non-lembaga keuangan, dengan tujuan untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh regulasi tertentu yang dapat mempengaruhi variabel penelitian.

TABEL 1
Sampel Penelitian

Identifikasi Perusahaan Jumlah
Perusahaan yang masuk dalam daftar CGPI 52
Perusahaan lembaga keuangan (9)
Data laporan keuangan tidak lengkap (19)
Jumlah Sampel 24
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

2. Definisi dan Pengukuran Variabel
Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Discretionary accruals merupakan selisih antara total accruals dan nondiscretionary accruals. Sedangkan total accruals merupakan selisih antara net income dan cash flow from operations. Total akrual dipecah menjadi komponen discretionary accruals dan nondiscretionary accruals dengan menggunakan modified Jones model (Dechow et al.,1995). Model ini dipakai karena paling baik dalam mendeteksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen dan memberikan hasil paling robust (Guay et al., 1996; Teoh et al., 1997; Rajgopal et al., 1999).

AC = Net income - Cash flows from operations

Current accruals (CA) didefinisikan sebagai perubahan dalam noncassh current assets dikurangi perubahan dalam operating current liabilities atau dihitung sebagai berikut:

CA = D(current assets-cash) - D(current liabilities-current maturity of long-term debt)

Nondiscretionary accruals (NDA) merupakan accruals yang diekspektasi dengan menggunakan modified Jones model. Expected current accruals sebuah perusahaan ditahun tertentu diestimasi dengan menggunakan cross-sectional ordinary least squere (OLS) regression terhadap current accruals dan perubahan penjualan.

Nondiscretionaty accruals (NDA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept untuk perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1
DSales = Perubahan penjualan
DTR = Perubahan dalam piutang dagang

Discretionary current accruals (DCA) untuk sebuah perusahaan pada tahun tertentu dihitung sebagai berikut:

Untuk menghitung discretionary dan nondiscretionary long-term accruals (DLTA dan NDLTA) , harus menghitung discretionary dan nondiscretionary total accruals (DTA dan NDTA). Discretionary total accruals (NDTA) sebuah perusahaan ditahun tertentu dihitung meregresi total accruals (AC) sebagai dependen variabel dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai additional explanatory variable.

Nondiscretionary total accruals (NDTA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
PPE = Gross property, plant, and equipment
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1

3. Metode Analisis
§ Analisis Deskripstif. Untuk mengestimasi nilai NDTAC dan NDCA dilakukan regresi terhadap nilai perubahan penjualan (change in sales), perubahan piutang dagang, dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai variabel independennya. Dari nondiscretionary accruals tersebut dihitung discretionary accruals.

§ Uji Beda. Uji beda dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah diterapkannya prinsip-pinsip GCG untuk mengetahui tingkat penurunan rekayasa yang dilakukan manajemen. Untuk cut off waktu penerapan prinsip GCG digunakan tulisan dalam buku "The Essence of Good Corporate Governance" yang menyebutkan prinsip tersebut diterapkan di Indonesia sejak ditandatanganinya LOI antara Indonesia dan IMF, yaitu tahun 1998 (YPPMI & Sinergy Communication, 2002: 173). Sehingga periodesasi penerapan prinsip GCG dilakukan sebagai berikut:
1. Tahun 1996-1997 merupakan periode sebelum diterapkannya prinsip GCG.
2. Tahun 1998 dipakai sebagai cut off periode penerapan prinsip GCG.
3. Tahun 1999-2000 merupakan periode kewajiban penerapan prinsip GCG.

F. Hasil dan Analisis
Dengan menggunakan modified Jones model untuk memisahkan total accruals menjadi discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Penelitian menggunakan discretionary accruals perusahaan sampel selama lima tahun, yaitu tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) sebagai periode sebelum diterapkannya prinsip-prinsip GCG, tahun 1998 (t) sebagai tahun munculnya kewajiban penerapan prinsip GCG, serta 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) sebagai periode kewajiban penerapan prinsip GCG. Hasil penghitungan discretionary accruals ditunjukkan di Tabel 2.

 
TABEL 2
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan
 
t-2 t-1 t t+1 t+2
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

Tabel 3 menunjukkan nilai mean dan median discretionary accruals selama periode bernilai negatif. Hal ini merupakan indikasi bahwa rekayasa yang dilakukan manajemen bersifat income decreasing. Kondisi ini terjadi karena kemungkinan besar manajemen bersikap konservatif dalam melaporkan kinerjanya, yaitu dengan mengakui biaya masa depan (future cost) menjadi biaya sekarang (current cost) yang mengakibatkan kinerja lebih rendah dari kinerja fundamentalnya. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa nilai discretionary accruals tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) (-25009.92 dan -222806.60) lebih tinggi dibanding dengan nilai discretionary accruals tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) (-310024.20 dan -331029.60). Penurunan nilai discretionary accruals yang mencolok ini di tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) kemungkinan besar karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Tahun 1998 (t) mempunyai nilai discretionary accruals paling rendah, yaitu -376456.40. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar pada tahun tersebut krisis ekonomi di Indonesia mencapai puncaknya.

GRAFIK 1
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Selanjutnya discretionary accruals akan dipecah menjadi dua, yaitu discretionary current accruals-akrual yang dihitung dari aktiva lancar-dan discretionary long-term accruals-akrual yang dihitung dari aktiva tetap. Pemecahan ini untuk mengidentifikasikan apakah rekayasa keuangan yang dilakukan terhadap aktiva lancar ataukah aktiva tetap. Hasil pemecahan ditunjukkan di Tabel 3.

 
TABEL 3
DCA dan DLTA Selama Periode Pengamatan
 
t-2 t-1 t t+1 t+2
Discretionary Cuurent Accruals (DCA)
Mean -0.0560 -0.0210 -0.0260 -0.0130 0.0106
Median 0.0000 -0.0210 -0.0110 -0.0510 0.0384
Discretionary Long-term Accruals (DLTA)
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002. 

Tabel 3 menunjukkan nilai DLTA untuk semua periode pengamatan selalu lebih besar daripada nilai DCA. Hal ini mengindikasikan manajemen cenderung memilih menggunakan item yang aktiva tetap (dan aktiva jangka panjang) untuk melakukan rekayasanya. Selanjutnya uji beda (t-test) akan dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance pada tahun 1998. Nilai discreationary accruals sebelum penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t-2 dan t-1 (1996 dan 1997). Sedangkan nilai discretionary accruals sesudah penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t+1 dan t+2 (1999 dan 2000). Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.

 
T ABEL 4
Uji Beda Sebelum dan Sesudah Penerapan GCG
 
p-value t-value
Sebelum-sesudah 0.291 -1.081
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Keterangan :  *   : Signifikan pada level 0.05 (2 sisi)
  **  : Signifikan pada level 0.10 (2 sisi)

Hasil pengujian terhadap discretionary accruals menunjukkan discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance tidak berbeda secara signifikan. Nilai p-value 0.291 dan t-value -1.081 mengindikasikan tidak ada perbedaan yang signifikan antara rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip GCG.

Kesimpulan :


Penelitian ini bertujuan untuk mendukung dugaan bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) secara signifikan akan mengurangi upaya rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Namun penelitian ini tidak berhasil membuktikan dugaan tersebut, karena dari hasil uji beda terbukti tidak adanya perbedaan tingkat rekayasa antara sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip tersebut, sehingga bisa disimpulkan bahwa GCG belum berhasil diterapkan di Indonesia. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menguji hubungan penerapan prinsip tersebut dengan rekayasa (earnings management) yang dilakukan manajemen perusahaan, misalnya Beasly (1996), McMullen & Randghun (1996), Westphal & Zajac (1997), Abbott et al. (2000), Carcello & Neal (2000), Chtourou et al. (2001), Dezoort & Salterio (2001). Selain hasil tersebut, hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu (1) manajemen memilih menggunakan item aktiva tetap dan jangka panjang sebagai dasar rekayasa keuangan dan (2) manajemen menggunakan earnings management berpola income decreasing (penurunan laba) untuk melakukan rekayasanya yang diindikasikan dari nilai discretionary accruals yang negatif. Sedangkan setelah tahun 1998, income decreasing yang terjadi kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997-an.



TUGAS AUDIT 2_Audit Manufaktur

TIARA AMALIA

21207095

3EB05

TUGAS PEMERIKSAAN AKUNTANSI 2

JURNAL AUDIT MANUFAKTUR

DOSEN : RENNY NUR’AINY


PRAKTIK PENGAUDITAN INTERNAL DAN PERAN KOMITE AUDIT PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR

Posted January 7th, 2008 by fas


A. PROFIL ORGANISASI

Antam adalah perusahaan tambang dan logam Indonesia milik negara yang telah melakukan aktivitas eksplorasi, eksploitasi, produksi, proses manufaktur, permurnian serta pemasaran ke seluruh dunia sejak tahun 1968. Antam memiliki pendapatan dalam US dollar dan mengekspor bijih nikel ke Jepang dan Cina, memproses bijih nikel menjadi feronikel untuk penjualan ke perusahaan-perusahaan stainless steel di Eropa dan Asia Timur. Antam juga menjual emas dan produk sampingan dari proses pemurnian emas, yaitu perak, ke pengusaha perhiasan di Indonesia dan luar negeri. Bauksit Antam, yang merupakan bahan baku untuk alumina, dijual ke Jepang dan Cina. Antam mengoperasikan satu-satunya pabrik pemurnian logam mulia diIndonesia.
Dalam hal aset, budaya, dan cara pandang, Antam adalah suatu perusahaan yang terdiversikasi. Namun Antam adalah suatu perusahaan nikel paling tidak hingga akhir dekade ini. Antam terintegrasi secara vertikal. Namun Antam juga bergerak lebih jauh ke bidang hilir untuk menjadi perusahaan yang memproses dan memproduksi logam. Kekuatan Antam antara lain adalah biaya operasinya yang murah, walaupun biaya tunai feronikel pada saat ini cukup tinggi berhubung tingginya harga bahan bakar, dan cadangan tambangnyayang besar.
Antam dimiliki 5% oleh publik, dimana mayoritas dari kepemilikan publik tersebut dikuasai oleh lembaga-lembaga internasional, yang telah memiliki Antam untuk beberapa tahun. Tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Australia, Antam dikenal sebagai perusahaan yang memiliki tata kelola yang baik dengan transparansi yang tinggi. Antam memiliki hubungan yang baik dengan karyawan dan memiliki pelanggan-pelanggan yang telah memiliki hubungan jangka panjang, puas dan loyal.
Visi 2010 Antam adalah menjadi perusahaan pertambangan berstandar internasional yang memiliki keunggulan kompetitif di pasar global. Berdasarkan visi ini, Antam mempunyai aspirasi untuk menjadi suatu perusahaan pertambanganyang jauh lebih besar dan lebih baik. Perusahaan Pertambangan yang lebih besar, lebih proaktif, lebih produktif, lebih berorientasi ke masa depan, lebih menguntungkan, lebih seimbang dan lebih kompetitif di pasar internasional.
Misi Antam, secara singkat, adalah untuk memenuhi semua komitmen dan kewajiban kepada para stakeholders yakni:
• Pemegang saham melalui pertumbuhan laba yang berkesinambungan dan terus-menerus dengan beroperasi secara sangat efisien
• Karyawan dengan meningkatkan kesejahteraan mereka melalui suasana kerja yang sehat, aman dan memuaskan
• Pelanggan dengan menyediakan produk-produk berkualitas tinggi
• Publik dan masyarakat dengan berpartisipasi aktif dalam usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat sekitar dan menjaga lingkungan hidupdari wilayah tambang
Tujuan utama Antam adalah untuk meningkatkan nilai pemegang saham berdasarkan strategi berikut:

a. Fokus pada Bisnis Inti
Antam akan terus menempatkan fokus pada segmen bisnis yang Antam paling ketahui dan kuasai yaitu nikel, emas dan bauksit. Selama 35 tahun lebih, Antam telah menguasai keahlian yang mendalam di bidang eksplorasi, eksploitasi, pemrosesan dan pemasaran produk-produk dalam segmen ini. Antam akan memanfaatkan kekuatan Antam di bidang ini untuk memastikan keuntunganyang bersifat jangka panjang.

b. Menciptakan Pertumbuhan yang Berkesinambungan
Antam merencanakan untuk menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan melalui tindakan-tindakan berikut:
• Meningkatkan kualitas cadangan
• Menciptakan nilai tambah dengan mengurangi penjualan bahan mentah dan meningkatkan aktivitasaktivitas pemrosesan di bidang hilir
• Penambahan kapasitas yang berkesinambungan untuk meningkatkan penghasilan kas dan menurunkan biaya per unit
• Usaha yang terus menerus untuk mengefisienkan biaya
• Kerjasama strategis dan akuisisi
• Kesinambungan lingkungan dan sosial

c. Mempertahankan Kekuatan dan Kesehatan Keuangan
Antam mempertahankan kekuatan dan kesehatan keuangannya melalui neraca yang solid dan likuiditas yang sehat untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Dengan menghasilkan sebanyak mungkin kas, Antam memastikan bahwa Antam memiliki cukup dana untuk membayar hutang, mendanai pertumbuhan dan membayar dividen. Selain itu, posisi kasyang kuat dan didukung dengan fasilitas modal kerja akan mempertahankan fleksibilitas dan memberikan perlindungan dari tekanan-tekanan eksternal dan dari keadaan dimana harga-harga komoditas tidak mendukung.

B. PENGENDALIAN INTERNAL

Pengendalian internal adalah suatu proses yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen, dan personel lainnya dalam suatu entitas, termasuk di dalamnya kebijakan dan proseduryang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam menyediakan informasi keuangan yang handal, menjamin dipatuhinya hukum dan peraturan yang berlaku, serta efektivitas dan efisiensi operasi.
Pengendalian internal dapat mencegah kerugian atau pemborosan pengolahan sumber daya perusahaan serta dapat menyediakan informasi tentang bagaimana menilai kinerja perusahaan dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan.

Elemen-elemen Pengendalian Intern:
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
2. Penilaian Resiko (Risk Assesment)
3. Prosedur Pengendalian (Control Procedure)
4. Pemantauan (Monitoring)
5. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)

Direksi bertanggung jawab mengelola keuangan serta proses pelaporannya lebih lanjut, Direksi bertindak merancang sistem pengendalian internal terhadap proses pelaporan keuangan. Di Indosat sistem pengendalian internal mencakup suatu mekanisme komprehensif dari suatu standard operating procedure, jalur pelaporan dan struktur akuntabilitas.

C. PRAKTIK INTERNAL AUDIT

Internal Audit Antam secara struktural bertanggung jawab kepada Direktur Utama, dan mempunyai hubungan fungsional dengan Komite Audit. Internal Audit mempunyai misi membantu Direktur Utama dalam menjalankan fungsi pengawasan untuk memastikan bahwa pengendalian internal, manajemen risiko, dan implementasi tata kelola perusahaan padaproses-proses dalam perusahaan telah berjalan sesuai dengan ketentuan. Satuan kerja ini juga memberikan jasa konsultasi dan sebagai katalisator untuk membantu manajemen.
Lingkup pekerjaan Internal Audit sesuai Internal Audit Charter meliputi Etika dan Norma Pemeriksaan, penelaahan atas kinerja perusahaan, pelaksanaan GCG, pasca tambang, remunerasi, nominasi dan SDM, pengaduan karyawan dan pihak ketiga, pelaporan risiko dan pelaksanaan manajemen risiko, pelaksanaan tugas khusus, hubungan dengan pihak lain, kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan pelaksanaan aktivitas konsultasi lainnya.Internal Audit bekerja sama dengan Tim Manajemen Risiko dalam penyusunan Program Kerja Pemeriksaan Tahunan Berbasis Risiko (PKPTBR).
Internal Audit Antam mempunyai visi ingin menjadi Internal Audit yang profesional dan mitra manajemen yang independen dan terpercaya guna mencapai visi dan misi perusahaan. Untuk dapat merealisasikan visinya Internal Audit menjalankan program transformasi yang mencakup 3 sasaran utama yaitu pertama, right direction, adanya ketepatan dan keselarasan arah yang tertuang dalam internal audit charter, kebijakan, prosedur dan pedoman audit; kedua, right people, mewujudkan internal auditor yang profesional agar mampu menjalankan fungsi pengawas, konsultan dan katalisator guna memperbaiki operasi dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan; ketiga, properly equipped, diperlengkapi dengan baik berupa metodologi audit berbasis risiko, tools & technology, dan knowledge management guna menunjang efektivitas dan efisiensi tugas Internal Audit.
Internal Audit telah berhasil memenuhi seluruh target (Key Performance Indicator) yang ditetapkan untuk tahun 2006. Realisasi Laporan Hasil Audit (LHA) tahun 2006 sebanyak 11 LHA. Pada tahun 2006 dilaksanakan assessment terhadap satuan kerjaInternal Audit oleh konsultan independen (Ernst & Young) dalam rangka memelihara quality assurance secara berkala (3 tahunan). Pada tahun ini telah dilakukan revisi terhadap Internal Audit Charter sesuai rekomendasi hasil assessment.
Pada tahun 2007 diimplementasikan PKPTBR dengan pendekatan proses bisnis yang berisiko tinggi baik di level korporasi maupun unit bisnis. Jumlah LHA yang direncanakan pada tahun 2007 sebanyak 15 LHA. Pada tahun 2007 akan dilaksanakan program-program inisiatif sesuai rekomendasi hasil assessment antara lain restrukturisasi organisasi Internal Audit, dan penempatkan kembali personel Internal Audit sesuai persyaratan organisasi yang baru, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk memenuhi hal ini dilakukan program assessment terhadap personel Internal Audit yang ada maupun kader berdasarkan job profile Internal Auditor yang meliputi 3 kriteria yaitu auditor yunior, madya dan senior; Untuk mengembangkan Internal Auditor profesional dilakukan program pelatihan dan pengembangan Internal Auditor secara berkesinambungan. Mengingat keterbatasan jumlah SDM dari internal perusahaan, direncanakan untuk merekrut senior auditor dari luar. Untuk ketepatan arah, akan dilakukan program review dan revisi terhadap kebijakan, prosedur dan pedoman audit yang ada.

D. PERAN KOMITE AUDIT

Fungsi utama Komite Audit adalah membantu Komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasannya dalam konteks meyakinkan bahwa :
1. Laporan keuangan perusahaan yang dipublikasikan telah memenuhi ketentuan yang berlaku, termasuk diterapkannya Standar Akuntansi yang sesuai;
2. Risiko usaha telah dikelola dengan baik dan sistem pengendalian internal telah dilaksanakan secara memadai, serta;
3. Aktivitas usaha telah dilaksanakan dengan beretika dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tugas-tugas tersebut dilaksanakan melakukan interaksi yang intensif dengan Direksi, manajemen dan auditor internal serta auditor eksternal. Komite Audit tidak menduplikasi pekerjaan pihak-pihak tersebut tetapi mengandalkan sepenuhnya pada informasi yang disampaikan oleh pihak-pihak terkait tersebut.
Berkaitan dengan hal yang dikemukakan di atas, perlu ditegaskan bahwa Direksi bertanggung-jawab sepenuhnya atas penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum dan ketentuan yang berlaku, kecukupan dalam pengelolaan risiko, dan keandalan dari sistem pengendalian internal serta kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku. Sedangkan auditor internal dan auditor eksternal bertanggung-jawab atas pelaksanaan auditnya.
Komite Audit membahas dan mengkaji perencanaan audit auditor internal dan auditor eksternal dan secara berkala membahas temuan-temuan mereka. Pada saat finalisasi audit laporan keuangan, auditor eksternal menyampaikan isu-isu signifikan yang ditemui dalam pelaksanaan auditnya dan membahasnya dengan Komite Audit.
Salah satu fokus utama Komite Audit pada tahun 2006 adalah upaya untuk meningkatkan kinerja Auditor Internal, upaya ini dilaksanakan antara lain dengan:
1. Menyarankan agar fungsi auditor internal dikaji oleh konsultan independen.
2. Mendorong perubahan dalam pendekatan audit dari pendekatan konvensional yang lebih cenderung bersifat compliance audit
menjadi pendekatan audit yang berbasis risiko serta lebih bersifat mitra bagi manajemen.
3. Memonitor kemajuan terlaksananya kedua hal diatas secara periodik.

Selain upaya untuk meningkatkan kinerja auditor internal, selama tahun 2006, Komite Audit bersama dengan Komite Manajemen Risiko juga membahas isu-isu penting yang terkait dengan:
1. Proses akuntansi dan penyusunan laporan keuangan;
2. Pelaksanaan cost reduction program;
3. Rencana investasi pada proyek alumina Tayan;
4. Manajemen dana pensiun;
5. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

DAFTAR PUSTAKA

http://www.antam.com/Overview/documents/Audit%20Committee%20Charter.pdf

http://www.antam.com/Overview/documents/10%20Audit%20and%20Control.%20ed...

http://www.antam.com/Overview/Presentations/PE2003-FL-02-english-public....

KESIMPULAN

Antam mempertahankan kekuatan dan kesehatan keuangannya melalui neraca yang solid dan likuiditas yang sehat untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Dengan menghasilkan sebanyak mungkin kas, Antam memastikan bahwa Antam memiliki cukup dana untuk membayar hutang, mendanai pertumbuhan dan membayar dividen.

Pengendalian internal yang dilakukan dapat mencegah kerugian atau pemborosan pengolahan sumber daya perusahaan serta dapat menyediakan informasi tentang bagaimana menilai kinerja perusahaan dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan.